Makalah Akhlak (Akhlak Mahmudah dan Madzmumah)



BAB I
PENDAHULUAN
  A.    Latar Belakang
Akhlak merupakan hal yang selalu mendampingi kehidupan kita. Itu dikarenakan akhlak merupakan sifat yang melekat dalam jiwa setiap  manusia. Akhlak memang tertanam di dalam jiwa, namun akhlak seseorang bisa terlihat dari cara seseorang bertingkah laku.
Setiap hal di dunia ini memang tercipta berpasang-pasangan. Ada positif, ada negatif. Ada laki-laki, ada perempuan. Begitu pula akhlak, juga dalam bentuk berpasangan. Ada akhlak mahmudah dan pula akhlak madzmumah. Dikarenakan setiap orang berbeda, maka setiap orang memiliki tingkah laku yang berbeda pula. Oleh karena itu, dengan tingkah laku  yang berbeda, tentu setiap orang memiliki akhlak yang berbeda pula.

Kita perlu memahami bagaimana akhlak kita, karena dengan adanya dua macam akhlak yang berbeda dan saling bertentangan, maka kita perlu tahu, akhlak apakah akhlak kita tergolong akhlak mahmudah, ataukah akhlak kita tergolong akhlak madzmumah. Untuk mengetahui hal itu, kita perlu mangetahui apa itu akhlak mahmudah dan apa itu akhlak madzmumah. Selain itu, kita perlu mengetahui perbedaan di antara keduanya. Perlu juga kita mengetahui dalil-dalil dari kedua akhlak tersebut agar  kita bisa lebih memahami tentang akhlak dan agar akhlakkita sesuai dengan dalil yang kita gunakan. Tentunya sebagai orang muslim, dalil atau dasar hukum yang kita gunakan adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah ( Al-hadis). 
  B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut ;
1.      Apa pengertian akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah?
2.      Apa saja macam-macam akhlak mahmudah?
3.      Apa saja dalil-dalil mengenai akhlak mahmudah?
4.      Apa saja macam-macam akhlak madzmumah?
5.      Apa saja dalil-dalil mengenai akhlak madzmumah?


BAB II
AKHLAK MAHMUDAH DAN AKHLAK TERCELA
  A.    Pengertian Akhlak Mahmudah dan Akhlak Madzmumah
Akhlak adalah sesuatu yang erat dengan perbuatan manusia. Mempersoalkan baik dan buruk perbuatan manusia memang dinamis dan sulit dipecahkan.[1] Dalam kehidupan sehari-hari akhlak atau perbuatan manusia terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah.
Akhlak mahmudah disebut juga sebagai akhlak terpuji. Akhlak terpuji erat kaitannya dengan kebaikan atau perbuatan baik. Menurut Ali bin Abi Thalib sesuatu yang baik memiliki pengertian menjauhkan diri dari larangan, mencari sesuatu yang halal dan memberikan kelonggaran pada keluarga.[2] 
Akhlak madzmumah disebut juga akhlak tercela. Akhlak ini erat kaitannya dengan keburukan atau perbuatan buruk. Keburukan adalah sesuatu yang rendah, hina, menyusahkan dan dibenci manusia. Sesuatu yang memperlambat suatu kebaikan.[3]
   B.     Macam-Macam Akhlak Terpuji
1.      Amanah
Amanah secara bahasa berarti kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan, menurut istilah amanah adalah sifat, sikap, dan perbuatan seseorang yang terpercaya atau jujur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di atas pudaknya. “al-Amin”adalah sebutan bagi orang yang dapat dipercaya, orang yang jujur atau setia.

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.(QS. An-Nisa: 58).
Sifat amanah erat sekali hubungannya dengan iman. Seorang yang beriman pasti dapat memegang teguh amanah. Bentuk-bentuk amanah yang harus dijaga dan dipertanggung jawabkan oleh setiap muslim, antara lain jabatan/pekerjaan, harta kekayaan, istri, anak, keluarga, dan lain sebagainya.
2.      Ikhlas
Ikhlas menurut bahasa berati suci, bersih, murni, atau tidak tercampur dengan apapun. Sedangkan menurut istilah ikhlas adalah mengerjakan suatu perbuatan (amal atau ibadah) semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah SWT. Amal ibadah tanpa keikhlasan menjadi tidak bermakna.dalam surat An-Nisa: 146 menyatakan:
                        

Artinya: Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh kepada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah (QS. An-Nisa: 146).
Ikhlas berkedudukan sebagai inti dari suatu ibadah. Artinya tanpa keikhlasan, maka amal ibadah yang dikerjakan oleh seseorang akan menjadi sia-sia, sebab tidak bermakna di hadapan Allah.
3.      Sabar
Sabar dapat didefinisikan dengan tahan menderita dan menerima cobaan dengan hati ridha serta menyerahkan diri kepada Allah SWT setelah berusaha. Menurut Al-Muhasibi, ciri utama sabar adalah tidak mengadu kepada siapa pun ketika mendapat musibah dari Allah.[4]
Sabar terbagi tiga macam yaitu sebagai berikut.
a.    Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
b.    Sabar karena taat kepada Allah artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada-Nya.
c.    Sabar karena musibah, artinya sabar ketika ditimpa kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah.
4.      Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa Jallamembersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT.[5]Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.
Tawakal adalah  kesungguhan  hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudaratan, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah berfirman:
..
Artinya: Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-prang yang bertawakal. (Ali Imran: 159)
5.      Pemaaf
Istilah pemaaf berasal dari bahasa Arab “al-afwu” yang berarti memberi maaf, berlapang dada terhadap kesalahan atau kekeliruan orang lain dan tidak memiliki atau menyimpan rasa dendam dan sakit hati kepada orang yang berbuat kesalahan kepadanya.[6]Memberi maaf  merupakan perbuatan yang sangat berat, tetapi sangat mulia. Memberi maaf harus dilakukan dengan cara yang ikhlas, bersifat lahir batin dan bukan karena terpaksa. Memberi maaf  harus dilakukan oleh setiap muslim pasa setiap kesempatan, baik dalam lingkungan keluarga, antar keluarga, linkungan kerja maupun dalam kehidupan masyarakat yang yang lebih luas (bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara) tanpa menunggu permintaan maaf dari pihak lainnya.
6.      Kasih sayang
Kasih sayang (ramah) merupakan salah satu sifat asli (fitrah) yang dibawa oleh manusia sejak lahir ke dunia, perlu dijaga, dipelihara, dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Hal-hal yang dapat menghilangkan kasih sayang dalam diri seseorang antara lain: kebencian, kemarahan, iri hati, dengki, dendam, permusuhan, dan lain sebagainya.
Kasih sayang adalah perasaan belas kasih yang tumbuh dalam hati seseorang yang mendorong orang tersebut untuk memakukan sesuatu yang baik. Kasih sayang terhadap makhluk Allah yang lain, seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam yang ada disekitarnya. Kasih sayang dapat juga muncul karena ia melihat kesalahan atau kesesatan yang dilakukan oleh seseorang, sehungga ia tergerak untuk menolong dengan mengingatkan atau paling tidak mendoakan agar orang tersebut diberi petunjuk oleh Allah sehingga dapat sadar dan insaf atas kesalahannya.
Kasih sayang yang tertanam dalam jiwa seseorang akan melahirkan sifat-sifat terpuji lai, seperti ramah, pemaaf, terbuka, toleran, pemurah, senagng menolong, senang kepada perdamaian, senagn kepada persaudaraan, selalu berusaha menyambung tali silaturahim dan lain sebagainya.
7.      Adil
Adil berasal dari bahasa Arab “al-‘Adl” mempunyai pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan akan menjaga kedamaian, ketentraman, keharmonisan hubungan, dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya ketidakadilan akan menimbulkan ketidak percayaan, ketidak senangan, kebencian, dendam, permusuhan, peperangan dan lain sebagainya.[7]
انّ الله يأمركم بالعدل والاحسا ن
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. (QS. Al-Nahl: 90).
Sifat adil dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu:
a.       Berlaku adil dalam menetapkan hukum.
b.      Berlaku adil terhadap istri.
c.       Berlaku adil pada anak-anaknya.
d.      Berlaku adil dalam kesaksian, baik dalam bentuk kata-kata atau tulisan.
e.       Berlaku adil dalam  mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih.
Keadilan akan menciptakan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian dalam kehidupan dirinya, keluarganya, dan masyarakat di sekitarnya.
8.      Taubat
Taubat secara bahasa berarti kembali. Secara istilah berarti kembai kepada kesucian atau kebenaran setelah seseorang melakukan perbuatan dosa atau  maksiat. Jadi, taubat adalah  tekad yang sunguh-sungguh untuk meninggalkan perbuatan dosa dan kemudian berketetapan hati untuk tidak lagi melakukan perbuatan perbuatan tersebut.
Agar taubat yang dilakukan oleh seseorang dapat berhasil, maka diperlukan persyaratan:
a.       Menyadari kesalahan yang telah dilakukan.
b.      Menghentikan kesalahan tersebut setelah sadar.
c.       Memohon ampun kepada Allah atas kesalahan tersebut.
d.      Memohon perlindungan Alla agar tidak mengulang kesalahan tersebut.
e.       Segera mengganti kesalahan yang dilakukan dengan melakukan kebaikan.[8]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan semurni-murninya.(QS. At-Tahrim: 8).
Agar taubat seseorang diterima oleh Allah, maka ia harus mengikuti taubat itu dengan melakukan perbuatan baik.
9.      Raja’
Raja’ secara bahasa berarti harapan. Secara istilah raja’ dapat diartikan denga sikap yang penuh keyakinan (optimisme) bahwa Allah adalah tempat segala harapan dan Allah akan memberikan rahmat dan karunia yang paling baik untuk dirinya. Sifat raja’ akan membangkitkan sikap optimisme dan sikap tidak kenal putus asa dalam menghadapi dan memecahkan setiap masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Sifat raja’ akan mendorosetiap muslim untukberserah diri sepenuhnya hanya kepada Allah dan kemudian mengaharap pertolongan, perlindungan, rahmat dan ridho-Nya.
C.    Akhlak Madzmumah
1.      Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Kufur merupakan kata sifat dari kafir. Jadi, kafir adalah orangnya, sedangkan kufur adalah sifatnya. Menurut syara’, kufur adalah tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakan.[9]
Kufur ada dua jenis, yaitu kufur  besar dan kufur kecil. Kufur besar  adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam dan abadi dalam neraka. Kufur besar ada lima macam, yaitu berikut di bawah ini. [10]
a.       Kufur karena mendustakan para rasul. Dalilnya adalah Q.S. Al-Ankabut: 68
b.      Kufur karena enggan dan sombong, padahal tahu kebenaran risalah para rasul. Dalinya adalah Q.S. Al-Baqarah: 34
c.       Kufur karena ragu, yaitu ragu-ragu terhadap kebenaran para rasul. Dalilnya adalah Q.S. Al-Kahf: 35-38
d.      Kufur karena berpaling, yaitu berpaling secara menyeluruh dari agama dan apa yang dibawa para rasul. Dalilnya adalah Q.S. Al-Ahqaf: 3
e.       Kufur karena nifak, yakni nifak  i’tikad, menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Dalilnya adalah Q.S. Al-Munafiqun: 3
2.      Nifak dan Fasik
Secara bahasa, nifak berarti lubang tempat keluarnya yarbu (binatang sejenis tikus) dari sarangnya.
Nifak menurut syara’,  artinya menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dengan kata lain, nifak adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hati. Atas dasar itu, Allah SWT mengingatkan bahwa orang-orang munafik itu adalah orang-orang fasik (Q.S. At-Taubah: 67), yaitu mereka yang keluar dari syara’.
Nifak terbagi menjadi dua macam, yaitu [11]nifak  I’tiqadi dan nifak ‘amali. Nifak i’tiqadi adalah  nifak besar yang pelakunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan kekufuran dalam hatinya. Jenis nifak ini menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam dan abadi dalam neraka. Allah SWT menyifati pelakunya dengan sifat-sifat buruk: kafir, tidak memiliki iman, mengolok-olok Islam dan pemeluknya, dan cenderung kepada musuh Allah SWT.
Nifak i’tiqadi ini ada enam macam, yaitu sebagai berikut.[12]
a.       Mendustakan Rasulullah SAW.
b.      Mendustakan sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.
c.       Membenci Rasulullah SAW.
d.      Membenci sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.
e.       Merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah SAW.
f.       Membenci kemenangan agama Rasulullah.
Nifak ‘amali, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang  munafik, tetapi dalam hatinya masih terdapat iman. Nifak ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, tetapi merupakan washilah (perantara) kepada yang demikian. Pelakunya berada dalam keadaan iman-nifak.[13]Jika perbuatan nifaknya lebih banyak, hal itu bisa menjerumuskan ke dalam nifak yang sesungguhnya.
Perbedaan antara nifak besar dan nifak kecil dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Nifak besar menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam, sedangkan nifak kecil tidak demikian.
b.      Nifak besar berarti bertolak belakang antara apa yang disembunyikan dan apa yang ditampakkan mengenai keyakinan, sedangkan nifak kecil bertolak belakang antara apa yang disembunyikan dan apa yang ditampakkan mengenai perbuatan semata, bukan keyakinan.
c.       Nifak besar tidak akan keluar dari seorang mukmin, sedangkan nifak kecil terkadang keluar darinya.
d.      Pelaku nifak besar umumnya tidak bertobat kepada Allah SWT, sedangkan pelaku nifak kecil terkadang bertobat kepadanya.
3.      Takabur dan Ujub
Allah SWT mencela perbuatan takabur dalam beberapa firman-Nya, di antaranya:
Q.S. Al-A’raf: 146
Q.S. Al-Mu’minun: 60
Takabur terbagi dalam dua bagian, yaitu batin dan lahir. Takbur batin adalah perilaku dan akhlak diri, sedangkan takabur lahir adalah perbuatan-perbuatan buruk yang muncul dari takabur batin. Perbuatan-perbuatan buruk yang muncul dari takabur batin sangat banyak sehingga tidak  dapat disebutkan satu per satu.
Dilihat dari subjeknya, takabur terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama,takabur kepada Allah SWT. Inilah takabur yang paling berat dan keji. Ini seperti yang Fir’aun lakukan, ia mengaku sebagai Tuhan dan merasa dirinya dapat memerangi Tuhan langit.
Kedua,takabur kepada rasul, yaitu tidak mau mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW serta menghina dan menyepelekan ajarannya. Ini seperti perilaku orang-orang kafir Quraisy yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, takabur terhadap sesama manusia, yaitu menganggap orang lain remeh dan hina. Meskipun tingkatannya lebih rendah dari yang pertama dan kedua, kesombingan jenis ketiga ini tetap saja merupakan perilaku yang sangat dicela karena kesombongan, keagungan, dan kemuliaan tidak layak, kecuali bagi Allah, Tuhan semesta alam. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman:
Kesombongan  adalah  selendang-Ku  dan kemuliaan adalah pakaian-Ku. Siapa yang mengambil salah satunya dari-Ku maka akan Aku campakkan dia ke dalam neraka.”
Al-Ghazali menuturksn bahwa seseorang tidak takabur atau ujub kecuali ketika ia merasa memiliki kesempurnaan, baik berkaitan dengan agama atau dunia. Berkaitan dengan agama, misalnya, ia takabur karena merasa paling dekat dengan Allah SWT dibandingkan dengan lainnya. Adapun berkaitan dengan dunia, ia merasa dirinya, misalnya, lebih kaya atau terhormat daripada yang lainnya.[14]
4.      Dengki
Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad,yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya. Adapun menurut Imam Al-Ghazali, dengki adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada orang lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu.
Di antara beberapa dalil yang mencela perbuatan dengki adalah sebagai berikut.
a.       Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa’: 54
b.      Sabda Rasulullah SAW.
1)      “Jauhilah sifat dengki karena dengki itu melalap kebaikan sebagaimana api memakan kayu.”
2)      “Janganlah kamu saling mendengki, saling membenci, dan saling merugikan. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Al-Ghazali membagi dengki pada empat tingkat. Pertama, menginginkan lenyapnya kenikmatan dari orang lain, meskipun kenikmatan itu tidak berpindah kepada dirinya. Kedua, menginginkan lenyapnya kenikmatan dari orang lain karena dia sendiri menginginkannya. Ketiga, tidak menginginkan kenikmatan itu sendiri, tetapi menginginkan kenikmatan serupa. Jika gagal memperolehnya, dia berusaha merusak kenikmatan orang lain. Keempat,menginginkan kenikmatan serupa. Jika gagal memperolehnya, dia tidak ingin lenyapnya keinginan itu dari orang lain. Sikap keempat ini diperbolehkan dalam urusan agama.[15]
Oleh karena itu, apabila penyakit dengki ini mulai bersarang di dalam hati, maka perlu kita obati. Adapun cara mengobatinya adalah dengan cara berikut.
a.       Minta maaf kepada orang yang didengki (dihasadi), walaupun terasa berat.
b.      Menyadari dan mengingat bahwa semua nikmat yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam yang dikehendaki-Nya, sudah pasti tidak merugikan orang lain.
5.      Gibah (Mengumpat)
Gibah atau mengumpat memiliki beberapa definisi.
a.       Menurut Raghib Al-Ashfahani, gibah adalah membicarakan aib orang lain dan tidak ada keperluan dalam penyebutannya.[16]
b.      Menurut Al-Ghazali, gibah adalah menuturkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain, yang apabila penuturan itu sampai padayang bersangkutan, ia tidak menyukainya.[17]
c.       Menurut Ibnu Atsir, gibah adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak pada tempatnya walaupun keburukan itu memang ada padanya.[18]
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dan kesepakatan para ulama, maka gibah hukumnya haram. Adapun dasar larangan berbuat gibah adalah sebagai berikut.
a.       Firman Allah SWT Q.S. Al-Hujurat: 12
b.      Q.S. Al-Humazah: 1
c.       Q.S. Al-Qalam: 11
Al-Qathani menuturkan beberapa sebab kemunculan perbuatan gibah.[19]
a.       Melampiaskan kebencian.
b.      Dengki kepada seseorang.
c.       Keinginan meninggikan status sendiri dan merendahkan status orang lain.
d.      Bergaul dengan orang-orang tidak baik.
e.       Bangga menjadi ahli maksiat.
f.       Menganggap remeh orang lain.
6.      Riya’
Kata riya’ diambil dari dasar ar-ru’yah, yang artinya memancing perhatian orang lain agar dinilai sebagai orang baik.[20]Riya’ adalah memperlihatkan diri kepada orang lain. Maksudnya beramal bukan karena Allah SWT, tetapi karena manusia. Riya’ erat hubungannya dengan takabur.
Sifat riya’ dapat muncul dalam beberapa bentuk kegiatan seperti berikut ini.
a.       Riya’ dalam beribadah
Riya’ dalam beribadah maksudnya memperlihatkan kekhusukan apabila di tengah-tengah jamaah karena ada orang yang melihatnya.
b.      Riya’ dalam berbagi kegiatan atau pekerjaan
Firman Allah Q.S. Al-Anfal: 47
c.       Riya’ dalam berderma atau bersedekah.
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 264
d.      Riya’ dalam berpakaian.
   D.    Analisis
Akhlak dibagi menjadi dua yaitu akhlak terpuji (akhlak mahmudah) dan Akhlak tercela (Akhlak madzmumah). Akhlak mahmudah (akhlak terpuji) merupakan tingkah laku atau perbuatan yang mengarah pada kebaikan. Akhlak terpuji cenderung dan selalu membawa pada kebaikan dan mendatangkan manfaat, entah bagi diri sendiri ataupun orang lain.
Berbeda dengan akhlak terpuji (akhlak mahmudah), akhlak madzmumah (akhlak tercela) merupakan tingkah laku atau perbuatan yang cenderung membawa pada keburukan. Bahkan akhlak ini mendatangkan kerugian,baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.


BAB III
PENUTUP
  A.    Simpulan
Dalam kehidupan sehari-hari, dalam setiap perbuatan manusia selalu berkaitan dengan akhlak, ada dua macam akhlak yaitu, akhlak mahmudah yang berkaitan dengan kebaikan dan akhlak madzmumah yang berkaitan dengan keburukan. Akhlak mahmudah (akhlak terpuji) adalah tingkah laku manusia yang baik, yang disenangi dan tidak merugikan orang lain. Contoh dari akhlak terpuji adalah amanah, ikhlas, sabar, tawakal, pemaaf, kasih sayang, adai, taubat, raja’, dan lain sebagainya. Sedangkan akhlak madmumah(akhlak tercela) adalah tingkah laku yang tercermin pada diri manusia, cenderung melekat pada bentuk yang tidak disukai orang lain. Contoh akhlak madzmumah adalah kufur, nifak, fasik, takabur, ujub, dengki, ghibah, riya’, dan lain-lain.
  B.     Saran

Setelah melakukan pembahasan dan penjabaran mengenai akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah, maka kami memberikan saran yang di antaranya  aebagai berikut.
1.      Kiranya kita dalam berperilaku dan berbuat selalu mengarahkan diri kita kepada Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji.
2.      Untuk bisa menghindari perilaku-perilaku tercela atau akhlak madzmumah.


DAFTAR PUSTAKA
Suraji, Imam. 2006. Etika dalam Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadis. Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. 2003. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Sayoti, M.  Ilmu Akhlak. 1987. Bandung: Lisan
Mustofa, AKhlak Tasawuf. 2005. Bandung: Pustaka Setia



[1] Mustofa, AKhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm 61.
[2] M. Sayoti, ilmu Akhlak, (Bandung: Lisan, 1987), hlm 38-39.
[3]Ibid, hlm 38.
[4]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Akhlak Tasawuf,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm 134.
[5] Ibid, hlm 134.

[6]Imam Suraji, Etika dalam Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadis,(Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru,2006), hlm 253.
[7] Ibid, hlm 258.
[8]Ibid, hlm 263
[9]Ibid, hlm 125.
[10]Ibid, hlm 125.
[11] Ibid, hlm 128.
[12] Ibid, hlm 128.
[13] Ibid, hlm 129.
[14] Ibid, hlm 131-132.
[15] Ibid, hlm 132-133.
[16] Ibid, hlm 135.
[17] Ibid, hlm 135.
[18] Ibid, hlm 135.
[19] Ibid, hlm 137.
[20] Ibid, hlm 137.
                Baca juga artikel lainya tentang   Makalah Bidang Hukum yang dimuat dalam Manawa Dharmasastra
Baca juga artikel lainya tentang Makalah Sentralisasi dan Desentralisasi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Akhlak (Akhlak Mahmudah dan Madzmumah)"

Posting Komentar