PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Syari’ah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjsutifikasi pluralotas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran “langage games” yang berbeda.
Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur’an , b). al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas atau lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah).
Dari paparan latar belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan Mahasiswa yang masih belum memahami sumber hukum islam Qiyas. maka penulis tertarik untuk membuat makalah tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Berikut akan Kami sampaikan secara garis besarnya saja.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian qiyas?
b. Apakah syarat dan rukun qiyas?
c. Apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini tidak lain untuk mengetahui tentang qiyas dan peran pentingnya dalam penyelesaian suatu masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Qiyas
Secara etimologis kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya.[1]Hasby ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang menyebaban hukumnya juga sama”.[2]Redaksi yang berbeda di jelaskan oleh Sulaiman Abdullah mengenai istilah yang disampaikan oleh ahli ushul yakni:”qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
Tentang arti qiyas menurut terminology (istilah hukum) terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi tersebut yakni
1. Al-Gazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dan keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum’.
2. Qadhi Abu Bakar memberikan definisi yang mirip dengan definisi di atas dan disetujui oleh kebanyakan ulama, yaitu
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3. Abu Hasan al-Bashri memberikan definisi:
“Menghasilkan (menetapkan)hokum ashal pada “furu” karena keduanya sama dalam illat hokum menurut mujtahid”[4]. Dan masih banyak lagi pendapat ulama lainnya.
2.2. Unsur-unsur Qiyas
Mengenai hakikat qiyas terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu:
1. Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut“maqis alaihi” atau “ashal” atau “musyabah bihi”.
2. Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara. Ini disebut “maqis” atau ”furu” atau ”musyabbah”.
3. Hukum yang disebutkan sendiri pembuat hukum (syari) pada Ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu,dalam illatnya para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu . ini disebut hukum ashal.
4. Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu.[5]
2.3. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara, Muhammad Abu Zahrah membagi tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran atau Sunnahdan dalam ijma ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampui batas kewajaran.
2. Kelompok ulama Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum Dan tidak menganggap perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara.
3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat Al-quran atau Sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara adalah:
1. Dalil Al-QuraN
a. Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat dalam surat yasin ayat 78-79
Artinya:”Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.”
b. Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaiman dipahami dari beberapa ayat al-Quran seperti dalam surat al-Hasr ayat 2.
c. Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat ayat 59
2. Dalil Sunnah
a. Hadis mengenai percakapan Nabi dengan uadz Ibn Jabal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa disana.
b. Nabi member petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut.
3. Atsar Sahabat
Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas adalah;
a. Surat Umar ibn Khatab kepada Abu Musa al-Asyari sewaktu diutus menjadi qadhi di yaman.
b. Para sahabat Nabi banyak menetapkan pedapatnya berdasarkan qiyas. Misalnya contoh yang populer adalah kesepakatan sahabat menggangkat Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Nabi.[7]
2.4. Syarat-Syarat Qiyas
1. Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya :
a. harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’I atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
b. harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.
2. Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
a. illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada ashal.
b. harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain hokum atau jenis hukum.
c. Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat’i.
d. Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat qiyas itu.
e. Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
f. Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
3. Hukum Ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu. Adapu yang menjadi syarat-syaratnya
a. Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk mengetahui hukum syara pada furu.
b. Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
c. Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.
d. Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
e. Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
f. Dalil yang menetapkan hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.
4. Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a. Bentuk-bentuk illat
1. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya tanpa bergantung kepada urf atau lainnya.
2. Sifat hissy, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati oleh alat indra.
3. Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur namun dapat dirasakan bersama.
4. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa.
5. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai bentuk hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum.
6. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum.
b. Fungsi illat
1. Penyebab/penetap yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap adanya hukum, baik dengan nama mu’arif ,muassir, atau baits.
2. Penolak yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tuidak mencabut hukum itu seandainya ilat tersebut terdapat pada saat hukum tengah beraku.
3. Pencabut, yaitu illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila illat itu terjadi dalam masa tersebut.
4. Penolak atau pencegah, yakni illat yang hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.
c. Syarat-syarat illat
1. Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
2. Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3. Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
4. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi illat.
5. Illat itu harus mempunyai daya rentang.
6. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi illat.[8]
2.5. Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1. Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada ilat yang terdapat pada ashal.
a. Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu.
b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
c. Qiyas adwan, yaitu yang yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya
a. Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik pembedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum;
a. Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan nash yang syarih atau ijma. Kedua,qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.
b. Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu
a. Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal.
c. Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu sendiri namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
5. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu.
a. Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c. Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d. Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.[9]
2.6. Tempat Berlakunya Qiyas
Sebagian ulama diantara Imam Syafi’I berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syariah, meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah ditetapkan) dan hukum-hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum lainnya.
Ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah hudud (pidana yang telah ditetapkan nash). Sebab ia termasuk batas yang telah ditetapkan Allah yang tidak bisa diketahui illatnya oleh akal. Seperti seratus cambukan bagi pezina. Disamping itu ialah karena dapat ditolak atau dihilangkan dengan kesyubhatan (ketidak jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara dzanny bukan qat’i. Maka uqubat yang telah diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat’i. Adapun soal uqubat yang tidak ditentukan bentuk pidananya, yang disebut dengan “Ta’zir” maka qiyas dalam soal ini dapat berlaku. Demikian menurut kesepakatan para ulama Fiqh.
Qiyas juga tidak berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga berarti uqubat, maka hukumnyapun sama dengan uqubat. Demikian pula qiyas tidak berlaku pada soal rukhsah, sebab ia merupakan hadiah ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas padanya.
Begitu juga qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah. Maka qiyas tidak berlaku pada pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah menciptakan ibadah dengan cara mengqiyaskan pada ibadah yang sudah ada ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku pada sesuatu yang akal tidak mengetahui maksud dan tujuannya baik dari segi hukum maupun bagian-bagiannya, sehingga tidak boleh mensyariatkan sesuatu ibadah yang tidak diizinkan Allah SWT.[10]
2.7. Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas
Ijtihad mengenai kejadia-kejadian baik yang ada nash, tetapi dzanni wurudnya dan dalalahnya dan yang tak ada nash. Ijtihad yang ada nash dzanni, adalah untuk menentukan apa yang harus kita pahami dan untuk mengetahui apakah itu ‘am atau khas. Dan kalau dia ‘am apakah dia masih tetap ‘am atau mutlaq atau mukayyad. Ijtihad terhadap yang tidak ada nash ialah menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ataupun dengan dalil yang lain yang dibenarkan syara.
Bidang qiyas ialah kejadian-kejadian yang tidak ada nash tetapi terdapat dalam syara, sesuatu pokok untuk diqiyaskan kepadanya. Maka qiyas adalah sesuatu sumber ijtihad, sedang ijtihad itu lebih umum dari pada qiyas. Dan kadang pula ijtihad dengan qiyas dipandang sama. Diantara perbedaan-perbedaan ijtihad dengan qiyas ialah qiyas yidak dapat berlaku dalam bidang ibadah, hudud dan kafarat, sementara ijtihad dapat dilakukan disegala bidang.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara dalam hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Ada dua macam cara penggunaan ra’yu yakni penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dan sebab.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun asus lain itu tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus lain tersebut.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah,maka setiap muslim meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash syara namun sebagian lain tidak jelas. Dengan konsep mumatsalahperistiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan yang ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan penetapan hukum yang menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi)
3.2. Saran
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumberpengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Sulaiman,Sumber Hukum Islam Permasalahan dan __________Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika,2004.
As Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi,Pengantar Hukum __________Islam,Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997.
http://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2013/10/makalah-tentang-_________qiyas.html
http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-ushul-fiqh-_________qiyas.html
0 Response to "MAKALAH QIYAS"
Posting Komentar