Untuk Anda yang ingin mendownload filenya lengkap, silahkan klik link dibawah ini!
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang sosial ekonomi profesi seorang guru kebanyakan kalangan menengah ke bawah. Sulit kita menemui atau masih sedikit daya yang menyebutkan kalangan sosial ekonomi menengah ke atas bersedia memilih bekerja sebagai guru. Profesi guru jelas bukan profesi yang berkelas dengan gaji yang besar, bukan profesi yang enak dan mengasyikkan. Status ini penuh beban moral dan sosial dengan apa yang diucapkannya, baik itu dalam relasi sosialnya di sekolah maupun di luar sekolah.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak pernah terlepas dari seorang guru. Peranan guru sangat besar dalam pendidikan. Guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari perorangan atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar-mengajar.
Peranan guru sangat mempengaruhi proses belajar mengajar. Peranan guru harus bisa mempengaruhi murid dan membuat murid menjadi lebih baik. Dalam segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Guru harus mampu mempengaruhi kelakuan murid dan harus bisa menjadi teladan bagi murid.
Guru memiliki cara berbeda dalam menjalankan peranannya sebagai guru. Hal ini juga mempengaruhi kelakuan murid terhadap guru itu sendiri. Oleh karena itu tak jarang murid memperlakukan guru yang satu berbeda dengan guru yang lainnya.
Hal ini yang perlu dibahas secara mendalam. Oleh karena itu penulis membuat makalah yang berjudul “Peranan Guru dan Kelakuan Murid”.
II
PEMBAHASAN
PERANAN GURU DAN KELAKUAN MURID
A. Guru
1. Pengertian guru
Terdapat banyak pengertian tentang guru. Dari segi bahasa, kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang pekerjaannya mengajar.[1] Menurut ahli bahasa Belanda J.E.C. Gericke dan T. Roorda yang dikutip oleh Ir. Pudjawiyatna, menerangkan bahwa guru berasal dari bahasa sanskerta, yang artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat dan juga berarti pengajar.[2]Sedangkan dalam bahasa Inggris di jumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan guru, kata teacher berarti guru, pengajar.[3] Kata educator berarti pendidik, ahli mendidik.[4]Dan tutor yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar dirumah, memberi les (pelajaran).[5]Dalam pandangan masyarakat jawa, guru dapat di lacak melalui akronim gu dan ru. Gu diartikan dapat digugu (dianut) dan ru berarti bisa ditiru (di jadikan teladan ).[6]
Guru adalah seorang administrator, informator, konduktor, dan sebagainya, dan harus berkelakuan menurut harapan masyarakat,. Dari guru, sebagai pendidik dan pembangun generasi baru diharapkan tingkah laku an bermoral tinggi demi masa depan bangsa dan negara.
Kepribadian guru dapat mempengaruhi suasana kelas/sekolah baik kebebasan guru yang dinikmati anak dalam mengeluarkan buah pikiran, dan mengembangkan kreatifitasnya ataupun pengekangan dan keterbatasan yang dialami dalam pengembangan pribadinya.[7]
Selanjutnya dalam konteks Pendidikan Islam banyak sekali kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti kata yang lazim dan sering digunakan antara lain murabbi, muallim, dan muaddib. Imam Al-Ghazali dalam menunjuk pendidik sering menggunakan kata al-Mu'allimin (Guru), al-Mudarris (pengajar), al-Mu'addib (pendidik) dan al-Walid (orang tua).[8]Akan tetapi Hujjatul Islam tidak menjelaskan secara spesifik pengertian atau definisi pendidik atau guru. Hanya kata-kata tersebut di atas sering digunakan dalam kitab-kitabnya. Ketiga kata tersebut memiliki penggunaan sesuai dengan peristilahan pendidikan dalam konteks pendidikan Islam. Disamping itu guru, kadang disebut melalui gelarnya, seperti al-ustadz dan as-syaikh.[9]Dalam hal ini dibahas secara luas oleh Abuddin Nata, yakni kata al alim (jamaknya ulama) atau muallim, yang berarti orang yang mengetahui dan kata ini banyak dipakai oleh ulama atau ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti guru. Al-mudarris yang berarti orang yang mengajar (orang yang memberi pelajaran) Namun secara umum kata almu’allim lebih banyak digunakan dari pada al-mudarris. Dan kata almuaddib yang merujuk pada guru yang secara khusus mengajar di istana. Sedangkan kata ustadz untuk menunjuk kepada arti guru yang khusus mengajar di bidang pengetahuan agama Islam. Selain itu terdapat pula istilah syaikh yang digunakan untuk merujuk pada guru dalam bidang tashawuf.[10]
Adapun pengertian guru secara terminologi memiliki banyak arti , dalam pandangan tradisional, guru dilihat sebagai seseorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Menurut pandangan para pakar pendidikan Islam sangat bervariasi dalam memberikan pengertian istilah guru. Menurut Ahmad Tafsir, bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, baik potensi kognitif, afektif, maupun potensi psikomotorik.[11]
2. Pengaruh Guru
Perjalanan menjadi guru sering dimulai pada saat awal kehidupan. Sebagian orang terlahir sebagai guru, pengalaman hidup awal sering mendorong mereka menjadi seorang guru. Selain orang tua wali, orang dewasa yang memiliki pengaruh paling besar pada anak adalah guru mereka. Mungkin hubungan positif dengan guru adalah katalis bagi keputusan Anda menjadi seorang guru. Seperti 22 persen dari responden polling online Hari Guru NEA 2002 ( National Education Association, 2002 ) yang menunjukan alasan utama mereka mempertimbangkan menjadi guru, pengaruh dari seorang guru sekolah dasar atau menengah mungkin menjadi alasan utama Anda memutuskan menjadi guru.
Seperti sebagian besar orang menjadi guru, Anda mungkin lebih terpengaruh oleh guru Anda sebagai seorang manusia dibanding sebagai seorang ahli dalam mata pelajaran tertentu. Mungkin Anda memiliki guru yang sama dengan Salina Gray, yang membuat pengamatan self-reflective berikut selama tahun pertama dia mengajar : “ Saya telah mengevaluasi keyakinan saya sebagai guru, menanyakan apa pendidikan itu seharusnya, apa maknannya, apa sebenarnya yang saya tunjukkan pada siswa saya. Apakah perilaku saya mempertontonkan nilai saya kepada siswa saya? Jadi, saya telah memperhatikannya”.[12]
Guru menurut paradigma baru ini bukan hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar yaitu realisasi atau aktualisasi potensi-potensi manusia agar dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya.[13]Sehingga hal ini berarti bahwa pekerjaan guru tidak dapat dikatakan sebagai suatu pekerjaan yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang yang benar-benar memiliki wewenang secara akademisi, kompeten secara operasional dan profesional.[14]
3. Kompetensi dan Efektivitas Guru
Masyarakat percaya guru yang berkompeten dan afektif adalah kunci penting untuk sistem pendidikan. Sebagai guru, Anda diharapkan mahir dalam menggunakan strategi instruksi, materi kurikulum, teknologi pendidikan yang canggih dan teknik managemen ruang kelas. Anda juga diharapkan memiliki pengertian yang menyeluruh tentang tingkat kemajuan siswa dan sangat mengerti konten yang Anda ajarkan. Untuk mempertahankan dan mengembangkan keahlian Anda yang tinggi, Anda diharapkan untuk memahami berbagai kegiatan yang sangat bagus dan untuk menunjukkan keinginan menuju pengembangan profesional.
Kompetensi dan efektifitas guru antara lain bertanggung jawab untuk membantu agar semua siswa berhasil. Walaupun siswa sekarang berasal dari latar belakang yang beragam, masyarakat berharap Anda percaya adanya potensi dari semua anak. Terlepas dari etnik, bahasa, gender dan setatus sosio ekonomi, latar belakang keluarga, dan kondisi hidup, kemampuan dan ketidakmampuan siswa Anda, Anda akan memiliki tanggung jawab untuk meyakinkan bahwa semua siswa berkembang menuju potensi maksimal. Untuk meraihnya, Anda diharapkan memiliki sekumpulan strategi instruksi dan sumber daya untuk menciptakan pengalaman belajar yang berarti yang mendorong pertumbuhan dan pengembangan siswa.[15]
4. Peran guru
Guru sebagai seorang pendidik bukan saja berfungsi sebagai sumber ilmu tetapi memiliki peran lain yang sangat penting yakni dalam pembentukkan karakter anak didik.[16]
Guru Sebagai Teladan bagi siswa.
Jelas guru merupakan teladan bagi siswa mereka. Di tingkat SD, guru diidolakan oleh siswa muda mereka. Di tingkat SMA guru memiliki potensi untuk menginspirasi kekaguman siswa jika mereka meneladani sikap dan perilaku positif. Sebenarnya, guru mengajarkan “ tidak hanya apa yang [ mereka ] katakan tetapi juga tetapi juga apa yang [ mereka ] lakukan “. Guru adalah “agen aktif yang ucapan dan tindakannya mengubah kehidupan dan membentuk masa depan, agar lebih baik atau lebih buruk. Guru mampu dan memang dapat menerapkan banyak kekuatan dan pengaruh terhadap kehidupan siswa”.
Dalam Listening to Urban Kids: School Reform and the Teachers They Want (Wilson & Corbett, 2001), siswa menyampaikan harapan berikut tentang sikap atau perilaku guru mereka: Saya mendengar guru, “Anak-anak itu tidak bisa apa-apa.” Anak-anak ingin guru percaya pada mereka.
Guru yang baik bagi saya adalah guru yang sabar, mau menerima kenyataan bahwa dia mungkin harus menangani siswa yang memiliki masalah.
Karena ini tahun pertamanya mengajar, saya menghargainya. Dia berinteraksi, tetapi dia juga mengajar..... Dia menasehati kami. Dia tidak hanya mencoba mengajar tetapi mencoba terlibat bersama kami.
Guru memberikan teladan dengan sikap terhadap mata pelajaran yang mereka sampaikan dan menunjukan ke siswa melalui contoh bahwa belajar merupakan proses yang terus-menerus, yang memperkaya kehidupan yang tidak berakhir dengan ijazah dan wisuda. Contoh mereka menegaskan pesan abadi dari Sir Rabindranath Tagore yang dipahatkan di atas pintu sebuah gedung publik di India : “ Seorang guru tidak benar-benar mengajar kecuali dia sendiri belajar. Sebuah lampu tidak dapat menghidup kan lampu lain kecuali ia terus menghidupkan apinya.
Guru sebagai Pemecah Masalah Spontan
Di kelas guru harus merespon peristiwa-peristiwa tak terduga yang cepat berubah, multidimensi, dan terpecah-pecah. Ketika guru bersiap untuk mengajar atau memikirkan pengajaran sebelumnya, mereka bisa secara konsisten bersikap hati-hati dan rasional. Merencanakan pelajaran, memberi nilai, memikirkan perilaku buruk seorang siswa aktivitas seperti itu biasanya dilakukan sendiri serta kurang keterlibatandan perhatian seketika yang seharusnya mencirikan pengajaran interaktif.[17]
Menurut Mohamad Uzer Usman ada peranan paling dominan dari seorang guru dan diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Guru sebagai demonstrator.
Melalui perannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
2. Guru sebagai pengelola kelas
Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (lerning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan pendidikan.
3. Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memilki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan. Karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran disekolah.
Sebagai mediator guru pun menjadi perantara dalam hubungan antar manusia. Untuk keperluan itu guru harus terampil mempergunakan pengetahuan tentang bagaimana orang berinteraksi dan berkomunikasi. Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa nara sumber, buku teks, majalah ataupun surat kabar.
4. Guru sebagai evaluator
Dalam satu kali proses belajar-mengajar guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.[18]
Seorang guru harus mengetahui bagaimana dia bersikap yang baik terhadap profesinya, dan bagaimana seharusnya sikap profesi itu dikembangkan sehingga mutu pelayanan setiap anggota kepada masyarakat makin lama makin meningkat. Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya.[19]
B. Murid
Menurut Engr Sayyid Khaim Husyain Naqawi yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa kata murid berasal dari bahasa arab, yaitu muriidun artinya orang yang menginginkan (the willer).[20]
Mengacu pada beberapa istilah mengenai murid di atas, murid diartikan sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan, yang dalam berbagai literatur disebut sebagai anak didik. Dalam undang-undang pendidikan no. 20 th. 2003 di sebut peserta didik.[21]
Masalah yang berhubungan dengan anak didik merupakan objek yang penting dalam pedagogik. Begitu pentingnya faktor anak dalam pendidikan, sampai-sampai ada aliran pendidikan yang menempatkan anak sebagai pusat segala usaha pendidikan (aliran child centered). Untuk itulah diperlukan sebuah usaha untuk memahami siapa peserta didik (murid) itu. Anak didik memiliki sifat-sifat umum antara lain:
a. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, sebagaimana statemen JJ. Rousseau, bahwa anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dunianya sendiri. Peserta didik memiliki fase perkembangan tertentu, seperti pembagian ki hajar dewantara (wiraga, wicipta, wirama)
b. Murid memiliki pola perkembangan sendiri-sendiri
c. Peserta didik memiliki kebutuhan, diantaranya sebagaimana dikemukakan para ahli pendidikan seperti, L.J. Cionbach, yakni afeksi, di terima orang tua, diterima kawan, independen, punya harga diri. Sedangkan Maslow memaparkan adanya
d. kebutuhan biologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan realisasi.
e. Perbedaan individual, yang meliputi segi jasmani, intelegensia, sosial, bakat dan lain sebagainya. Disamping itu perlu diperhatikan masalah kualitas seorang pembelajar tidak diukur dengan membandingkannya dengan pembelajar-pembelajar lainnnya, karena secara aktual dihadapkan dengan dirinya yang potensial, sesederhana dan sesulit itu.[22]
C. Hubungan Guru Dan Murid
Harus diketahui bahwa mengajar dan belajar mempunyai fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan terpisah. Perbedaan antara mengajar dan belajar bukan hanya disebabkan karena mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di dalamnya. Bila proses belajar mengajar secara efektif, itu berarti telah terbina suatu hubungan yang unik antara guru dan murid, proses itu sendiri adalah mata rantai yang menghubungkan antara guru dan murid.[23]
Tiap guru mempunyai hubungan yang berbeda menurut pribadi dan situasi yang dihadapi. Untuk mempelajarinya kita dapat berpegang pada tipe-tipe guru, misalnya guru yang otoriter yang menjaga jarak dengan murid dan guru yang ramah, yang dekat serta akrab dengan murid. Guru yang otoriter tak mengizinkan anak melewati batas atau jarak sosial tertentu.[24]
Peranan pendidik dalam kaitannya dengan anak didik, tampak bermacam berdasarkan situasi interaksi sosial-edukatif dihadapinya. Interaksi sosial edukatif dimaksudkan seperti situasi formal dalam proses pembelajaran dikelas maupun dalam situasi formal di luar kelas. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar anak didik dalam kelas, pendidik diharapkan dapat memperlihatkan kewibawaan dan otoritasya, di mana pendidik harus dapat mengendalikan, mengatur, dan mengontrol perilaku anak didik.
Adanya suatu kemajuan proses interaksi edukatif antara pendidik dan anak didik, lebih ditentukan kompetensi pendidik dalam proses pembelajaran. Interaksi edukatif antara pendidik dan anak didik ditunjukan pula adanya interaksi timbal balik ( mutual symbiosis ) antara keduanya.[25]
Ada pula klasifikasi yang lain tentang peranan guru yakni dengan membedakan tipe guru yang dominatif dan integratif. Tipe guru yang dominati mendominasi atau menguasai murid, menentukan dan mengatur kelakuan murid dan menginginkan konformitas dalam kelakuan murid atau menginginkan konformitas dalam kelakuan mereka Guru ini sering mencampuri apa yang dilakukan murid dan hal ini dapat menimbukan konflik antara dia dengan murid. Sebaliknya guru yang integratif membolehkan anak untuk menentukan sendiri apakah ia suka melakukan apa yang disarankan oleh guru. Murid-murid diajak berunding merencanakan bersama apa yang dikerjakan atau dipelajari untuk mencapai tujuan yang ditentukan bersama.[26]
Beberapa norma dasar yang harus diterapkan oleh para pendidik dalam berhubungan dengan anak didik.
a. Memiliki rasa belas kasihan kepada anak didik dan memperlakukannya seperti anak sendiri.
b. Mengajar dengan ikhlas, tidak semata-mata untuk mendapatkan upah, balasan, dan ucapan terima kasih dari anak didik.
c. Memberikan pemahaman secara mendalam bahwa menuntut ilmu merupakan suatu perbuatan terpuji dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt dan bukan untuk orang lain.
d. Mengajar dengan kasih sayang, tidak dengan kekerasan, ejekan dan sindiran.
e. Tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain atau pendidik lain depan murid-murid. Guru/pendidik harus menyederhanakan materi pelajaran sesuai dengan tingkat pemahaman/daya serap/kemampuan anak didik.[27]
Di sekolah-sekolah profesional kaya dan elit eksekutif, hubungan guru siswa lebih positif daripada di sekolah-sekolah kelas pekerja dan kelas menengah. Guru sopan kepada siswa, jarang memberikan perintah langsung, dan hampir tidak pernah membuat komentar kasar atau menyakitkan. Siswa percaya bahwa guru yang efektif mengembangkan budaya kelas yang positif dan berorientasi tugas, sedangkan guru yang tidak efektif mengembangkan budaya negatif.[28]
Hubungan guru-murid dikatakan baik apabila hubungan itu memiliki sifat-sifat:
a. Keterbukaan, sehingga baik guru maupun murid saling bersikap jujur dan membuka diri satu sama lain.
b. Tanggapan bilamana seseorang tahu bahwa dia dinilai oleh orang lain.
c. Saling ketergantungan, antara satu sama lain.
d. Kebebasan, yang memperbolehkan setiap orang tumbuh dan mengembangkan keunikannya, kreatifitasnya dan kepribadiannya.
e. Saling memenuhi kebutuhan, sehingga tidak ada kebutuhan satu orang pun yang tidak terpenuhi[29]
D. Sikap terhadap anak didik
Dalam kode etik guru indonesia dengan jelas dituliskan bahwa : Guru membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh seseorang guru dalam menjalankan tugas sehari-harinya, yakni : tujuan pedidikan nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan seluruh pribadi peserta didik , baik jasmani, rohani, sosial maupn yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupannya sebagai insan dewasa. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru .[30]
Guru merupakan personel sekolah yang memiliki kesempatan untuk bertatap muka lebih banyak dengan siswa dibandingkan dengan personel sekolah lainnya. Oleh sebab itu, peran tanggung jawab guru dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah juga sangat diharapkan.[31]
Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang diusahakan untuk menambah pengetahuan dan melangsungkan pendidikan.[32]Untuk mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Walau bagaimanapun pendidikan berusaha menanamkan pengaruhnya kepada peserta didik, apabila tidak ada kesediaan dari peserta didik sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat berhasil. Sehingga hal ini mendapat perhatian besar dari para pemikir pendidikan Islam.[33]
Para guru/fasilitator pelatihan memang banyak yang tertarik pada usaha bagaiman meningkatkan kemampuan keterampilan dan memberi bimbingan dan kemampuan mempermudah pertumbuhan emosional anak-anak. Namun mereka jarang yang benar-benar berhasil memahami perasaan dan pertumbuhan kepribadian peserta didik. Untuk itulah para guru/fasilitator pelatihan memenuhi minatnya tersebut.[34]
Para guru mencoba mendengarkan aktif, berpendapat bahwa keterampilan ini dapat menghemat waktu yang berfaedah bagi proses mengajar dan belajar. Inilah keuntungan-keuntungannya:
a. Mendengarkan aktif membantu murid membicarakan masalahnya dengan menyatakan perasaannya, keluhan, dan kesulitan. Murid secara bebas menyampaikan luapan perasaannya, sebab mendengarkan secara aktif merupakan alat untuk penyaluran perasaan.
b. Mendengarkan aktif memberikan kemudahan pemecahan masalah bagi murid. Sebab mendengarkan aktif begitu efektif membantu murid untuk berbicara, maka mendengarkan aktif berarti meningkatkan kemampuan murid-murid untuk berbicara kepada orang lain.
c. Mendengarkan aktif melatih murid bertanggung jawab dengan belajar menganalisis dan memecahkan masalh sendiri. Guru yang mencoba mendengarkan aktif sering menyimpulkan bahwa murid dapat menyelesaikan problem yang dihadapi sendiri secara mengagumkan.
d. Mendengarkan aktif mempererat hubungan antara guru dan murid Murid yang telah didengarkan oleh guru dalam segala luapan perasaannya menjadi puas, harga dirinya terbentuk, sehingga murid menyambut hangat nasihat guru. Hubungan guru dan murid mrnjadi saling menghargai, saling kerja sama, dan saling menyayangi.[35]
E. Reaksi Murid terhadap Peranan guru
Proses pendidikan banyak terjadi dalam interaksi sosial antara guru dan murid. Sifat interaksi ini Banyak bergantung pada tindakan guru yang ditentukan antara lain oleh tipe peranan guru. Bagaimana reaksi murid terhadap pranan guru dapat diketahui dari ucapan murid tentang guru itu. Tentang hal ini telah dilakukan sejumlah penelitian.
Dalam peneitian ini diperoleh hasil yang sama dengan metode yang agak berbeda. Murid-murid meminta menilai guru-guru mengenai kesanggupannya mengajar dan kelakuan guru yang ramah, yang paling sering turut serta dalam kegiatan reaksi mereka, yang dapat dipercayakan soal-soal pribadi, dan yang suka membantu dalam pelajaran. Dan kurang disukai ialah guru-guru yang sering mencela, marah, menggunakan sindiran atau kata-kata yang tajam. Sindiran, kata-kaa yang tajam dapat merendahkan konsep anak tentang dirinya.[36]
Dengan adanya wibawa, diharapkan terjadinya suatu bimbingan aktif, dan orang yang mempunyai wibawa, dalam hal ini adalah pendidik atau orang dewasa. Karena, perlu diingat bahwa walaupun pada diri anak didik tersebut terdapat potensi untuk berkembang sendiri, tetapi pada diri anak juga terdapat keinginan memperoleh perlindungan, baik secara jasmani maupun rohani, bersifat (kodrat) anak yang membutuhkan pertolongan.[37]
Kebutuhan anak didik atas pendidikan disebut homo educadum. Potensi anak didik yang bersifat laten tersebut perlu diaktualisasikan yang memungkinkan terdidik, tetapi harus dianggap sebagi manusia secara mutlak, karena anak didik memang manusia. Sebagai manusia anak didik memilki potensi akal yang harus dikembangkan agar menjadi kekuatan sebagai manusia yang berasusila dan berkecakapan sebagai modal kehidupan nyata. Bertalian dengan psikologi anak didik ini, Davidman (1981) menekankan bahwa cara belajar anak adalah cara anak didik mengatur lingkungan yang mereka tertarik. Davidman menganjurkan bahwa para pendidik mengajar anak didik berdasarkan cara mereka belajar bukan berdasarkan cara pendidik.[38]
Bila anak didik selalu ingin berdekatan dengan guru, tidaklah sukar bagi guru untuk memberikan bimbingan dan motivasi agar anak didik lebih giat belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Karena itu, guru memberikan motivasi dengan memanfaatkan kebuuhan anak didik dia berminat untuk belajar. Sebaliknya guru bisa memanfaatkan minat anak sebagai alat motivasi. Bila anak didik berminat terhadap suatu pelajaran dia akan memperhatikannya dalam jangka waktu yang tertentu. Perhatian penting dalam interaksi edukatif. Untuk mengamati sesuatu diperlukan perhatian. Anak didik harus melihat di papan tulis, mendengarkan apa yang guru ucapkan, dan sebagainya, dan bukan melihat keluar ia ingin belajar. Untuk itu anak harus diberikan rangsangan yang dapat mempengaruhi kelakuannya agar terus memberikan perhatian pelajaran.[39].
Untuk memupuk perhatian anak didik dianjurkan dengan mempergunakan reinforcement berupa gula-gula dan ganjaran simbolis seperti pujian, angka yang baik, acungan jempol, dan sebagainya. Guru yang biasanya kurang berhasil dalam pengajaran karena kegagalannya memupuk perhatian anak didik. Perhatian disini tentu saja menyangkut reaksi anak didik secara jiwa dan raga. Diakui, sukar untuk mempertahankan perhatian anak didik dalam jangka waktu yang cukup lama.[40]
Gaya-gaya guru dalam mengajar merupakan gabungan dari kedua tingkah laku (verbal maupun non verbal) tersebut. Kedua tingkah laku itu saling menguatkan bila diergunakan dengan tepat dan benar. Misalnya, ketika guru mengatakan bahwa “ di atas ada langit” tangan guru hendaknya melakukan gerakan ke atas, menunjuk dimana langit yang dimaksud itu berada, dan disertai dengan gerakkan kepala menengok ke atas. Demikian pula ketika guru mengatakan “ di bawah ada bumi”, gerakan tangan dan gerakan kepala harus mendukung apa yang dikatakan itu. Kekakuan dalam mengajar akan guru rasakan bila tingkah laku verbal kurang didukung dengan tingkah laku non verbal.
Dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada anak didik sebaiknya guru harus bergerak juga tidak lama-lama duduk di kursi. Sewaktu-waktu guru harus juga bergerak ke sisi kiri dan ke sisi kanan dari tempat duduk anak didik, ke depan dan ke belakang, dan pada waktu itu yang tepat berhenti sebentar. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat konsentrasi anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan.
Stimulus yang tepat dalam mengajar akan mendapatkan tanggapan balik dari anak didik. Banyak cara yang dapat dilakukan yang dapat dilakukan guru untuk mendapatkan tanggapan balik dari anak didik. Misalnya, menerapkan keterampilan bertanya dasar maupun bertanya lanjut, menggunakan metode tanya jawab, memakai prinsip-prinsip mengajar, atau apa saja yang dapat guru lakukan sebagai usaha mendapatkan tanggapan balik dari anak didik.[41]
F. Hubungan antara hasil belajar murid dengan kelakuan guru
Sejumlah orang percaya bahwa tujuan utama pembelajaran seharusnya mendorong pertumbuhan dan perkembangan personal siswa. Berikut cara untuk memperbaiki dan meningkatkan keterlibatan atau keaktifan siswa dalam belajar adalah sebagai berikut:
a. Abdikan waktu yang lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan belajar-mengajar.
b. Tingkatkan partisipasi siswa secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar dengan menuntut respon yang aktif dari siswa. Gunakan berbagai teknik mengajar, motivasi, serta penguat.
c. Masa transisi antara berbagai kegiatan dalam mengajar hendaknya dilakukan secara luwes.
d. Berikanlah pengajaran yang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar yang akan dicapai.
e. Usahakan agar pengajar dapat lebih menarik minat murid. Untuk itu guru harus mengetahui minat siswa dan mengaitkannya dengan bahan dan prosedur pengajaran.[42]
Dengan demikian tingkat ketergantungan kepada guru (peran guru) akan berangsur-angsur berkurang dan bertambah tingginya strata pendidikan. Namun demikian peran guru/dosen/pembimbing tetap sangat penting dan menentukan pada setiap tingkatan proses pendidikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil balajar.
a. Situasi hidup yang ada(kondisi keluarga)
b. Kondisi/keadaan pribadi/kesehatan
c. Tempat belajar
d. Waktu belajar
e. Rencana belajar
Dalam proses pengajaran peserta didik dituntut untuk dapat memehami materi yang disampaikan oleh pendidik. Dalam proses ini faktor guru, faktor murid, faktor materi pelajaran, faktor fasilitas pembelajaran dan metode sistem pengajaran merupakan hal-hal penting yang harus diperhatikan, dan semua faktor-faktor tersebut harus berada pada kondisi yang optimal agar pembelajaran dapat mencapai sasaran.[43]
Integrasi kepribadian ialah pribadi setiap individu yang terintegrasi pada setiap individu yang terintegrasi pada setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Individu peserta didik ini benar-benar menyadari bahwa kehidupannya adalah sebuah “proses menjadi”,” proses berubah”, dan” proses berkembang”. Di dalam proses itu seseorang individu peserta didik terus berusaha secara sadar memilih berbagai pengalaman yang kondusif atau mendukung perkembangan, perubahan dan pertumbuhan dirinya tersebut.
Karena pilihannya dan kesadarannya itulah si peserta didik dengan suk rela menerima resiko, menghadapi konflik dan pertentangan dengan keinginannya. Si peserta didik ini menyadarkari betul bahwa tanpa kerelaan menerima resiko dan konflik kepentingan mka perkembangan, pertumbuhan, dan perubahan dirinya akan menjadi terhambat. Kerelaan menerima resiko ini akan terlihat ketika si peserta didik memilih belajar dan mengurangi jamnya bermain walaupun tidak ada tekanan dari guru/fasilitator pelatihan atau orang tua mereka.[44]
Guru/fasilitator pelatihan dan peserta didik setiap secara bersama-sama mengevaluasi kemajuan peserta didik setiap minggu apakah sesuai tujuan. Dalam usaha memenuhi strategi itu, seorang guru/fasilitator pelatihan harus mulai mendiagnosa tingkat konseptual rata-rata peserta didik, memadukan model pembelajaran yang cocok bagi kebutuhan peserta didik.[45]
Perlu diketahui bahwa belum seluruh model pembelajaran telah dimasukkan ke dalam model pendidikan afektif. Setiap model pembelajaran memungkinkan adanya materi pembelajaran tertentu. Karenanya model-model tersebut bisa membantu guru/fasilitator pelatihan atau orang tua di dalam menyeleksi dan mengembangkan skrip film, film, dan materi sumber lainnya.[46]
Peserta didik atau anak-anak dapat menulis solusi atau pemecahannya dan dibandingkan pendapatnya itu di dalam kelompok-kelompok kecil.[47]
Murid cenderung terlalu santai dan tidak semuanya harus dari diri murid sendiri, terkadang dalam beberapa segi murid perlu dipaksa dan di sikapi dengan tegas. Karena sifat murid cenderung malas-malasan dan belum mengetahui pentingnya belajar, mereka cenderung suka bermain dan bersenang-senang. Guru yang ramah, tidak ingin memaksa. Guru tersebut lebih ingin murid belajar berdasarkan keinginan sendiri, tapi guru yang otoriter cenderung memaksa sehingga mau tidak mau murid akan belajar.
G. Peranan Guru dalam Masyarakat dan Respons murid
Guru hendaknya mengenal masyarakat agar dapat berusaha menyesuaikan pelajaran dengan keadaaan masyarakat sehingga relevan. Guru-guru kita diharapkan mengabdi kepada masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dan dengan demikian turut memberi sumbangan kepada pembangunan negara. Di mana saja guru berada, khususnya di desa, cukup kesempatan baginya untuk berpartisipasi dan berbakti dalam masyarakat.[48]
Keberadaan pendidikan sebagai faktor perubahan sosial, peran guru/pendidik memiliki peran strategis dalam mewujudkan anak didik agar siap dalam menghadapi perubahan sosial yang diharapkan. Karena pendidikan, sebagai suatu proses sosial, dan terdapat banyak jenis masyarakat, suatu kriteria untuk menkritisi dan membangun pendidikan berimplikasi pada suatu masyarakat yang ideal.[49]
H. Peranan Guru Lainnya di Sekolah dan Respons Murid
Di sekolah, guru dapat memegang berbagai peranan selain mengajar yakni sebagai kepala sekolah, pembimbing OSIS, kordinator bidang studi, piket, dan lain-lain. Kepala sekolah pada umumnya lebih dihormati dan disegani oleh murid-murid, mungkin karena otoritasnya yang lebih besar, juga karena ia mempunyai wewenang, pengalaman dan usia yang lebih banyak.[50] Seorang pendidik/guru memiliki tanggung jawab dan bahkan menujukkan suatu otoritas lebih besar disekolah. kini, sudah banyak upaya yang dilakukan untuk membantu pendidik/guru untuk meningkatka kapasitas untuk membangun sekolah sebagai pusat belajar ( learning centers) di mana anak didik dan orang dewasa tumbuh.
Dalam prestasi belajar anak tidak ada pengaruh peranan tambahan yang dipegang oleh guru.[51]Mengingat hasil belajar yang diharapkan dimiliki anak didik berupa kemampuan-kemampuan seperti tersirat dalam tujuan pembelajaran, maka keberhasilan harus diukur dari ketercapaian tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien. Ada sejumlah indikator yang dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan belajar anak didik, yaitu:
a. Anak didik menguasai bahan pengajaran yang telah dipelajarinya.
b. Anak didik menguasai teknik dan cara mempelajari bahan pengajaran.
c. Waktu yang diperlukaan untuk menguasai bahan pengajaran relatif ebih singkat.
d. Teknik dan cara belajar yang telah dikuasai dapat digunakan untuk mempelajari bahan pengajaran lain yang serupa.
e. Anak didik dapat mempelajari bahan pengajaran lain secara sendiri.
f. Timbulnya motivasi instrinsik ( dorongan dari dalam diri anak didik) untuk belajar lebih lanjut.
g. Tumbuh kebiasaan anak didik untuk selalu mempersiapkan diri dalam menghadapi kegiatan sekolah.
h. Anak didik terampil memecahkan masalah yang dihadapinya.
i. Tumbuh kebiasaan dan terampil membina kerja sama atau hubungan sosial dengan orang lain.
j. Kesediaan anak didik untuk menerima pandangan orang lai dan memberikan pandangan atau komentar terhadap gagasan orang lain.[52]
Setiap interaksi edukatif selalu menghasilkan perstasi belajar. Masalah yang dihadapi adalah sampai di tingkat mana prestasi belajar yang telah dicapai. Dapatlah diketahui keberhasilan proses interaksi edukatif yang dilakukan anak didik atau guru.[53]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Guru adalah seorang administrator, informator, konduktor, dan sebagainya, dan harus berkelakuan menurut harapan masyarakat, Dari guru, sebagai pendidik dan pembangun generasi baru diharapkan tingkah laku dan bermoral tinggi demi masa depan bangsa dan negara.
Guru memberikan teladan dengan sikap terhadap mata pelajaran yang mereka sampaikan dan menunjukan ke siswa melalui contoh bahwa belajar merupakan proses yang terus-menerus, yang memperkaya kehidupan yang tidak berakhir dengan ijazah dan wisuda.
Harus diketahui bahwa mengajar dan belajar mempunyai fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan terpisah. Perbedaan antara mengajar dan belajar bukan hanya disebabkan karena mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di dalamnya.
Tiap guru mempunyai hubungan yang berbeda menurut pribadi dan situasi yang dihadapi. Tipe-tipe guru yaitu guru otoriter, guru ramah, guru dominatif, guru integratif.
Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan seluruh pribadi peserta didik , baik jasmani, rohani, sosial maupn yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupannya sebagai insan dewasa. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru.
Proses pendidikan banyak terjadi dalam interaksi sosial antara guru dan murid. Sifat interaksi ini Banyak bergantung pada tindakan guru yang ditentukan antara lain oleh tipe peranan guru. Bagaimana reaksi murid terhadap peranan guru dapat diketahui dari ucapan murid tentang guru itu. Tentang hal ini telah dilakukan sejumlah penelitian.
Guru hendaknya mengenal masyarakat agar dapat berusaha menyesuaikan pelajaran dengan keadaaan masyarakat sehingga relevan. Guru-guru kita diharapkan mengabdi kepada masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dan dengan demikian turut memberi sumbangan kepada pembangunan negara. Di mana saja guru berada, khususnya di desa, cukup kesempatan baginya untuk berpartisipasi dan berbakti dalam masyarakat.
B. Saran
Kesadaran peranan guru terhadap kelakuan murid harus sealu terjaga, supaya bisa mencapai tujuan peranan guru yang semestinya. Dari keberhasilan interaksi antara guru dan murid supaya tercipta hasil belajar yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ridwan. 2006. Ilmu sebagai Lentera kehidupan. Bogor: IPB Press.
Ali, Hery Nur. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Cet II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Burhanuddin, Tamyiz. 2001. Akhlak Pesantren, Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta:Ittaka Press.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. II. cet. IX. Jakarta: Balai Pustaka.
Djamara, Syaiful Bahri. 2002. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Echols, J. M. dan Hasan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Cet XX. Jakarta: PT Gramedia.
Gunawan, H.Ari. 2000. Sosiologi Penddikan Suatu Analiis Sosiologi tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta:PT.Rineka Cipta.
Harefa, Andreas. 2001. Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Dan Transformasi Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. Cet V. Jakarta: Kompas.
Idi, Abdullah . 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Langgulung, Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Miller, Jhon P. 2002 Cerdas di kelas sekolah kepribadian. Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Tri Genda Karya.
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:Bumi Aksara.
Nata, Abuddin. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
____. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Parkay, Forest.W dan Beverly Hardcastle Stanford. 2011. Menjadi Seorang Guru, (alih bahasa Wasi Dewanto). Jakarta Barat:PT.Indeks.
Pudjawiyatna, dalam Hadi Supeno. 1885 Potret Guru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
S, Nana Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Sordon, Thomas. 1990. Guru yang Efektif. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Soejipto, dan Raflis Kosasi. 1999. Profesi keguruan. Jakarta: Rieneka Cipta.
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. cet XIII. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Zainuddin dkk. 1991. Seluk- beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
[1]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. II, cet. IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 330.
[2]Pudjawiyatna, dalam Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995)
hlm. 26
[3]John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,
1992), cet XX, hlm. 581.
[4] Ibid., hlm. 207.
[5] Ibid., hlm. 608.
[6] Pudjawiyatna, op. cit, hlm. 26.
[7] Ari H gunawan, Sosiologi Penddikan Suatu Analiis Sosiologi tentang Pelgai Problem Pendidikan,(Jakarta:PT.Rineka Cipta, 2000), hlm. 46.
[8]Zainuddin dkk, Seluk- beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 50.
[9]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Tri Genda Karya, 1993), hlm. 167.
[10]Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). hlm. 41-42.
[11]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1994), hlm. 74.
[12] Forest W.Parkay dan Beverly Hardcastle Stanford, Menjadi Seorang Guru, alih bahasa Wasi Dewanto (Jakarta Barat:PT.Indeks, 2011), hlm. 10.
[13]Hasan Langgulung,Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (jakarta: Pustaka Al-Husna,
1988), cet.I., hlm.86.
[14]Nana Syaodih S, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), hlm. 191.
[15] Forest W.Parkay dan Beverly Hardcastle Stanford, op. cit.,hlm. 23.
[16] Ridwan Afandi, Ilmu sebagai Lentera kehidupan, (Bogor: IPB Press,2006), hlm. 61.
[17] Ibid,. hlm. 50.
[18] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001), cet.XIII., hlm. 9-10.
[19] Soejipto dan Raflis Kosasi, Profesi keguruan, (Jakarta: Rieneka Cipta,1999), hlm. 49.
[20] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 49.
[21]Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:
Citra Umbara, 2003), hlm. 10.
[22]Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Dan Transformasi
Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, (Jakarta: Kompas, 2001) cet V., hlm 67-68.
[23] Thomas Sordon, Guru yang Efektif, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1990), hlm 3.
[24] S.Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta:Bumi Aksara,2011), hlm. 115.
[25] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan, ( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 132-133.
[26] S.Nasution, op.cit,.hlm. 116.
[27] Ridwan Affandi, op. cit,. hlm. 61-62.
[28] Abdullah Idi, op. cit,. hlm 93.
[29] Thomas Sordon, op. cit,. hlm.26.
[30] Soejipto dan Raflis Kosasi, op.cit,. hlm. 50.
[31] Ibid,. hlm. 103.
[32]Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren, Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari,
(Yogyakarta:Ittaka Press, 2001), hlm. 72.
[33]Hery Nur Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1994), cet II,
hlm. 129.
[34] Jhon P.Miller, Cerdas di kelas sekolah kepribadian, (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2002), hlm. 25.
[35] Thomas Sordon, op. cit,. hlm. 87.
[36] S.Nasution, op.cit,. hlm. 117
[37] Abdullah Idi, op.cit,. hlm. 86.
[38] Ibid,. hlm. 121.
[39] Syaiful Bahri Djamara, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 60.
[40]Ibid,. hlm. 61.
[41] Ibid,. hlm. 76.
[42] Moh.Uzer Usman, op.cit,. hlm. 26.
[43] Ridwan Affandi, op.cit,. hlm 65.
[44] Jhon P.Miller, op.cit,. hlm 26.
[45] Ibid,. hlm.43.
[46] Ibid,. hlm. 45.
[47] Ibid,. hlm. 125.
[48] S.Nasution, op. cit,. hlm. 122.
[49] Abdullah Idi, op. cit,. hlm. 223.
[50] S. Nasution, op. cit,. hlm. 122.
[51] Abdullah Idi, op. cit,. hlm. 225.
[52] Syaiful Bahri Djamara, op. cit,. hlm 87.
0 Response to "Makalah Sosiologi Pendidikan (Peran Guru terhadap Perilaku Siswa)"
Posting Komentar